Peristiwa proklamasi 1945 membawa
perubahan yang bagi masyarakat Indonesia, dan sekaligus menempatkannya pada
situasi krisis jati diri. Krisis ini terjadi karena Indonesia sebagai sebuah
negara belum memiliki perangkat sosial, hukum, dan tradisi yang mapan. Situasi
itu menjadi ‘bahan bakar’ bagi upaya-upaya pembangunan karakter bangsa di tahun
50-an dan 60-an. Di awal 70-an, ketika kepemimpinan soeharto, orientasi
pembangunan bangsa digeser ke arah ekonomi, sementara proses – proses yang
dirintis sejak tahun 50-an belum mencapai tingkat kematangan.
Dalam latar belakang sosial demikianlah telekomunikasi dan
informasi, mulai dari radio, telegrap, dan telepon, televise, satelit
telekomunikasi, hingga ke internet dan perangkat multimedia tampil dan
berkembang di Indonesia. Perkembangan telematika penulis bagi menjadi 2 masa
yaitu masa sebelum atau pra satelit dan masa satelit.
1. Masa Pra-Satelit
Radio dan Telepon
Di periode pra satelit (sebelum tahun 1976), perkembangan
teknologi komunikasi di Indonesia masih terbatas pada bidang telepon dan radio.
Radio Republik Indonesia (RRI) lahir dengan di dorong oleh kebutuhan yang
mendesak akan adanya alat perjuangan di masa revolusi kemerdekaan tahun 1945,
dengan menggunakan perangkat keras seadanya. Dalam situasi demikian ini para
pendiri RRI melangsungkan pertemuan pada tanggal 11 September 1945 untuk
merumuskan jati diri keberadaan RRI sebagai sarana komunikasi antara pemerintah
dengan rakyat, dan antara rakyat dengan rakyat.
Sedangkan telepon pada masa itu tidak terlalu penting
sehingga anggaran pemerintah untuk membangun telekomunikasipun masih kecil
jumlahnya. Saat itu, telepon dikelola oleh PTT (Perusahaan Telepon dan
Telegrap) saja. Sampai pergantian rezim dari Orla ke Orba di tahun 1965, RRI
merupakan operator tunggal siaran radio di Indonesia. Setelah itu bermunculan
radio – radio siaran swasta. Lima tahun kemudian muncul PP NO. 55 tahun 1970
yang mengatur tentang radio siaran non pemerintah.
Periode awal tahun 1960-an merupakan masa suram bagi
pertelekomunikasian Indonesia, para ahli teknologi masih menggeluti teknologi
sederhana dan “kuno”. Misalnya saja, PTT masih menggunakan sentral-sentral
telepon yang manual, teknik radio High Frequency ataupun saluran kawat terbuka
(Open Were Lines). Pada masa itu, banyak negara pemberi dana untuk Indonesia –
termasuk pendana untuk pengembangan telekomunikasi, menghentikan bantuannya.
Hal itu karena semakin memburuknya situasi dan kondisi ekonomi dan politi di
Indonesia.
Tercatat bahwa pada masa 1960-1967, hanya Jerman saja yang
masih bersikap setia dan menaruh perhatian besar pada bidang telekomunikasi
Indonesia, dan menyediakan dana walau di masa-masa sulit sekalipun. Ketika itu
pengembangan telekomunikasi masih difokuskan pada pengadaan sentra telepon,
baik untuk komunikasi lokal maupun jarak jauh, dan jaringan kabel. Indonesia
saat itu belum memiliki satelit. Sentral telepon beserta perlengkapan hubungan
jarak jauh ini diperoleh dari Jerman. Pada saat itu, Indonesia hanya dapat
membeli produk yang sama, dari perusahaan yang sama, yakni Perusahaan Jerman.
Tidak ada pilihan lain bagi Indonesia.
Keleluasaan barulah bisa dirasakan setelah di tahun
1967/1968 mengalir pinjaman-pinjaman ke Indonesia, baik bilateral ataupun pinjaman
multilateral dari Bank Dunia, melalui pinjaman yang disepakati IGGI. Akan
tetapi, pada masa inipun inovasi dalam pemfungsian teknologi telekomunikasi
masih belum berkembang dengan baik di negeri ini. Peda dasarnya kita memberi
dan memakai perlengkapan seperti switches, cables, carries yang sudah lazim
kita pakai sebelumnya.
Televisi
Badan penyiaran televisi lahir tahun 1962 sebelum adanya
satelit yang semula hanya dimaksudkan sebagai perlengkapan bagi penyelenggara
Asian Games IV di Jakarta. Siaran percobaan pertama kali terjadi pada 17
Agustus 1962 yang menyiarkan upacara peringatan kemerdekaan RI dari Istana
Merdeka melalui microwave. Dan pada tanggal 24 Agustus 1962, TVRI bisa
menyiarkan upacara pembukaan Asian Games, dan tanggal itu dinyatakan sebagai
hari jadi TVRI.
Terdorong oleh inovasi, akhirnya pada tanggal 14 November
1962 untuk pertama kalinya TVRI memberanikan diri melakukan siaran langsung
dari studio yang berukuran 9x11 meter dan tanpa akustik yang memadai. Acaranya
terbatas, hanya berupa permainan piano tunggal oleh B.J. Supriadi dengan
pengaruh acara Alex Leo.
Lebih setahun setelah siaran pertama, barulah keberadaan
TVRI dijelaskan dengan pembentukan Yayasan TVRI melalui Keppres No. 215/1963
tertanggal 20 oktober 1963. Antara lain disebutkan bahwa TVRI menjadi alat
hubungan masyarakat (mass communication media) dalam pembangunan
mental/spiritual dan fisik daripada Bangsa dan Negara Indonesia serta
pembentukan manusia sosialis Indonesia pada khususnya.
Sampai tahun 1989, TVRI merupakan operator tunggal di
bidang penyiaran televise.
Jadi sebelum satelit palapa mengorbit, Indonesia hanya
mengenal telekomunikasi yang bersifat terestrial, yakni yang jangkauannya masih
dibatasi oleh lautan. Telekomunikasi seperti ini tidak bisa menjangkau pulau-pulau
kecuali melalui penggunaan SKKL (Saluran Komunikasi Kabel Laut) yang mahal dan
sulit dipergunakan.
2. Masa Satelit
Satelit Domestik Palapa
Gagasan tentang peluncuran satelit bagi telekomunikasi
domestik di Indonesia bisa ditelusuri asal muasalnya dari sebuah konferensi di
Janewa tahun 1971 yang disebut WARCST (World Administrative Radio Confrence on
Space Telecomunication).
Pada konferensi itu di tampilkan pila pameran dari
perusahaan raksasa pesawat terbang Hughes. Perusahaan inilah yang mengusulkan
ide pemanfaatan satelit bagi kepentingan domestik Indonesia. Hal tersebut
disambut oleh Suhardjono yang berlatar belakang militer dan membawa masalah
satelit itu sampai ke Presiden RI.
Selain pertimbangan kelayakan ekonomi dan teknis, sejarah
peluncuran satelit ini juga diwarnai oleh kepentingan politik dimana hubungan
antara Indonesia dengan negara- negara lain sudah mulai bersahabat. Di sisi
lain, satelit memungkinkan penyebaran luas ideologi negara ke masyarakat luas
melalui TV, satelit juga menguntungkan secara ekonomi.
Komunikasi tentang cara-cara menggali sumber daya alam
dapat berlangsung dengan mudah. Ini berlaku untuk kasus tembaga pura (Freeport)
dan di Dili. Peluncuran satelit Palapa di Cape Canaveral, Florida, bulan
Agustus 1976 pada panel peluncuran terdapat 3 orang Indonesia dan perwakilan
dari perusahaan NASA dan Hughes.
Kejadian ini diresmikan juga melalui pidato kenegaraan
oleh presiden Soeharto di Jakarta, tanggal 16 Agustus 1976. ini merupakan satu-
satunya proyek teknologi yang mendapat tempat terhormat di gedung Parlemen.
Namun peluncuran satelit itu merupakan kebijakan nasional yang gagasan awalnya
dicetuskan oleh pemerintah.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Indonesia
pernah mengalami ancaman perpecahan. Untuk mempersatukan tanah air yang sangat
luas ini diperlukan sarana perhubungan yang mencakup seluruh wilayah nusantara.
Proses kelahiran satelit ini hanya melibatkan sedikit teknokrat dan teknolog
yang berpihak pada kepentingan Orba.
Dampak Setelah Adanya Satelit Palapa
Dengan semakin bergantungnya Indonesia pada teknologi
satelit, muncullah sejumlah perusahaan yang bergerak dalam produksi
perlengkapan terkait, seperti RFC (milik Iskandar Alisjahbana), LEN (milik
Kayatmo), PT. INTI. Setelah periode itu, aspek bisnis di dunia telekomunikasi
mencuat. Inovasi lebih banyak terjadi pada penyediaan layanan, sementara
pengembangan teknologi untuk komponen berkurang.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat di tahun 1988 membuat
kebutuhan telekomunikasi melonjak secara drastis. Untuk memenuhi kebutuhan
telepon yang melonjak, disadari pemerintah perlunya perubahan regulasi, yang
kemudian membuahkan UU no. 3 tahun 1989 tentang pengertian telekomunikasi yang
diperluas hingga mencakup alat pengiriman data seperti facsimile dan telex, dan
lain-lainnya.
Sebelum lahirnya UU ini, Telkom dan Indosat disebut
sebagai badan penyelenggara telekomunikasi yang menyediakan seluruh jejaring
dan layanan jasa. Dampak positif dari berlakunya UU tersebut adalah mulai
masuknya pihak-pihak swasta dengan modal yang besar, walaupun dalam skala usaha
yang terbatas.
Mereka datang dengan membawa teknologi baru, tenaga ahli,
manajemen yang baru. Ini semua kemudian menciptakan iklim usaha yang baru dalam
penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia. Dengan terlibatnya pihak asing
dalam pengadaan dana, teknologi dan menejemen, perkembangan teknologi
telekomunikasi berkembang dengan pesat. Hal ini terjadi sekitar tahun 1990-an
dan dampaknya terlihat mulai tahun 1991 khususnya terlihat jelas bahwa
jangkauan telekomunikasi di Indonesia menjadi bertambah luas.
Perkembangan teknologipun berkembang pesat, mulai dari
pesawat telepon manual ke otomatis, dan dari analog menjadi digital. Pada
gilirannya perkembangan ini menuntut adanya pengaturan infrastruktur dan standarisasi
peralatan. Tak lama kemudian masuklah teknologi mobile-telecommunication.
Berkembanglah pemakaian handphone yang bardampak tumbuhnya
usaha-usaha yang tidak hanya menyediakan layanan atau jejaring saja, melainkan
juga membangun pabrik-pabrik dalam upaya pemenuhan kebutuhan akan kabel.
Menarik untuk dicatat bahwa di era serbuan bisnis telekomunikasi itu, ternyata
kaidah dan aturan bisnis professional tidak sepenuhnya diikuti.
Sementara itu faktor politik tampaknya justru mengambil
peranan penting. Kala itu terjadi campur tangan bisnis dari “Keluarga Cendana”
yang mengambil peranan sebagai mitra bisnis PT Telkom dan Indosat yang kemudian
diikuti oleh krono-kroni mereka seperti Liem Sio Liong melalui “Sinar Mas”- nya
dan lain-lain. Di era emas telekomunikasi itu, tumbuh dorongan kuat agar Bank
Indonesia membuka pintunya lebar-lebar bagi pihak swasta asing.
Bahkan mereka menginginkan adanya privatisasi Telkom dan
Indosat dalam penyelenggaraannya. Dampak dari dorongan ini mencuatnya pandangan
bahwa regulasi yang ada sudah tidak memadai lagi. Di sekitar tahun 1996,
mulailah disusun rencana untuk meninjau kembali UU No. 3 tahun 1989.
Beberapa hal yang diperhatikan dalam review ini adalah :
1. Perkembangan teknologi tahun 1995-1996 itu berbeda
sekali dengan di tahun 1990. ini terutama terjadi akibat konvergensi teknologi,
sebagai fungsi dari berbagai jenis jasa berubah dan timbul jasa-jasa baru yang
perlu diakomodasikan. Konvergensi teknologi bahkan memungkinkan teknologi
dipadu dengan broadcasting, sehingga timbullah telematika, teleinformatika,
teknologi informasi dan lain-lain yang menuntut kebijakan dan peraturan yang
baru.
2. Perkembangan teknologi informasi dan broadcasting itu
ternyata tidak hanya berpengaruh pada masalah politik, dalam artian berita,
tetapi juga iklan yang sangat berpengaruh dalam dunia bisnis. Lebih jauh lagi
dengan berkembangannya telebanking, telekumunikasi sebelumnya dilihat hanya
sebagai public utility, kini berubah menjad bisnis opportunity.
3. Globalisasi ekonomi menciptakan suasana kompetisi yang
semakin ketat. Ini menuntut penyelenggaraan telekomunikasi dengan kualitas
layanan yang semakin tinggi.
Setelah satelit Palapa mengorbit, jangkauan telekomunikasi
Indonesia bisa meliputi seluruh nusantara, dan bahkan ke luar wilayah
nusantara. Satelit telekomunikas itu kemudian bisa dimanfaatkan bukan untuk
telepon tetapi juga untuk berbagai macam keperluan lain seperti, pengiriman
facsimile, telex, dan pengiriman berbagai informasi dalam bentuk lain termasuk
broadcasting. Setelah perkembangan itu semua terwujud, masyarakat melihat
pentingnya peranan telekomunikasi bagi kehidupan suatu bangsa.
Nusantara 21
Perkembangan satelit dipacu lebih lanjut dengan
diresmikannya “Nusantara 21” (N21) oleh presiden RI pada tanggal 27 Desember
1996. Menggelindingnya N21 menjadi masukan utama untuk pembentukan Tim
koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) melalui Kepres No. 30 tahun 1997. Tugas
TKTI menurut Inpres No.6 tahun 2001 tentang pengembangan dan Pendayagunaan
Telematika di Indonesia adalah :
(1) Mengkoordinasikan perencanaan dan memelopori program
aksi dan inisiatif untuk meningkatkan perkembangan dan pendayagunaan teknologi
telematika Indonesia serta memfasilitasi dan memantau pelaksanaannya,
(2) Memperkuat kemampuan menggalang sumber daya yang ada
di Indonesia guna mendukung keberhasilan pelaksanaan semua arah pengembangan
dan pendayagunaan teknologi telematika, melaksanakan forum untuk membangun
consensus antar pihak-pihak terkait di sector pemerintah dan swasta, serta
akses mengakses pengalaman internasional dalam mengembangkan sistem
infrastruktur infomasi nasional.
Tim ini diketuai oleh Menko Produksi Industri Strategis
(Ginanjar Kartasasmita), wakil ketua Menparpostel, beranggotakan tujuh menteri
departemen (Menkeu, Menhankam, Menpen, Mendagri, Menperindag, Menaker, dan
Mendikbud) serta lima menteri negara (Mensesneg, Menristek, MenPAN, Menivest,
Men-PPN).
Visi N21 adalah menyediakan wahana berbasis teknologi
telekomunikasi dan informatika nasional di dalam proses transformasi bangsa
Indonesia dari masyarakat tradisional (traditional society) menjadi sebuah
masyarakat yang berwawasan IPTEK dan berbasis pengetahuan (knowledge based
society).
Konsep N21 merupakan jawaban atas tantangan globalisasi
komunikasi dan informasi berupa jaringan komunikasi terpadu. N21 menggunakan
kerangka pendekatan, antara lain, (a) Memanfaatkan semua teknologi yang dapat
mendukung pembangunan di semua sektor; dan (b) membentuk suatu jaringan maya
informasi atau adi marga informasi (virtual information network atau
anformation superhighway) yang menghubungkan seluruh pelosok tanah air.
Dengan dikembangkannya N21 maka pada tahun 2000 atau
memasuki abad 21 seluruh kecamatan di Indonesia akan mempunyai akses ke semua
teknologi komunikasi dan computer (K-2) dalam suatu jaringan terpadu yang
didukung oleh 11 sistem satelit komunikasi. Sekarang ini baru ada tiga sistem
satelit yang beroperasi, yaitu PSN dengan Palapa 1. telkom dengan Palapa B4 dan
B 2R, dan satelindo dengan Palapa C 1 dan C 2. Pengembangan infrastruktur fiik
mengandung tiga kemungkinan penggunaan, yaitu : (1) Adiguna Marga Kepulauan
(Archipelagic Super Highway), (2) Kota Multimedia (Multimedia Cities); dan (3)
Nusantara Multimedia Community Acces Centers ( Pusat Akses Masyarakat
Multimedia Nusantara).
Tim Koordinasi Telematika Nasional secara paripurna
merumuskan cetk biru pengembangan telematika yang mencakup tiga kelompok utama,
yaitu infastruktur, aplikasi, dan sumber daya.
1. Infrastruktur
Menurut Jonathan L.Parapak (Presiden komisaris PT.Indosat)
dalam http://www.bogor.net, perkembangan infrastruktur ini dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain kebijakan nasional sector telekomunikasi, regulasi
sector, kondisi ekonomi makro, kemampuan para pelaku nasional. Pada tatanan
kebijakan patut dicatat beberapa kemajuan yang sangat penting, antara lain
diundangkannya UU tentang Telekomunikasi no. 36 tahun 1999 dan dikeluarkannya
cetak biru kebijaksanaan tentang telekomunikasi di Indonesia tanggal 20 Juli
1999.
Pada tatanan regulasi telah dicapai beberapa perkembangan
penting antara lain dimungkinkannya pern swasta dan masyarakat yang semakin
tinggi dalam pengembangan regulasi yang telah terwujud dalam penetapan tariff
dan interkoneksi standard, dan lain-lain. Pada tatanan penyelenggaraan kondisi
monopoli dan duopoli yang masih menghambat peran swasta dan masyarakat lebih
besar, keadaan ekonomi yang baru tumbuh sangat mempengaruhi daya beli
masyarakat.
Dalam kondisi ini, kelihatannya sasaran pembangunan
infrastuktur baik adimarga informasi, multimedia city akan mengalami penundaan.
Namun demikian perlu dicatat bahwa PT.Telkom telah berupaya membangun
lingkar-lingkar adimarga kepulauan dan infrastruktur multimedia di Jakarta.
Infrastruktur informasi telah maju selangkah dengan beroperasinya satelit
Telkom 1.
Salah satu aspek yang penting adalah pemanfaatan secara
optimal infrastruktur yang ada. Tampaknya perlu dikembangkan kebijaksanaan baik
pada tingkat pemerintah maupun pada tingkat penyelenggaraan agar investasi yang
telah dilakukan dapat termanfaatkan dengan berdaya guna dan berhasil guna bagi
berbagai komponen masyarakat, baik pendidikan, layanan kesehatan, pemerintahan
maupun kegiatan bisnis.
2. Aplikasi Telematika
Aplikasi telematika Indonesia terfokus pada pemberdayaan
aparatur negara, pemerkayaan hidup masyarakat (telemedik, telekarya,
pendidikan), penciptaan daya saing bisnis (perbankan,pos,pariwisata,manfaktur),
pembangunan informasi dasar dan aplikasi telematika perlu dilihat dari tatanan
kebijakan, regulasi, dan penyelenggaraan yang di manfaatkan masyarakat.
Dari sudut pandang kebijakan tampaknya belum terasa
perkembangan yang menonjol. Isu kelembagaan masih banyak diperbincangkan, UU
yang terkait dengan atau tentang telematika (cyber law) masih jauh dari
harapan. Beberapa aspek regulasi yang mendesak, misalnya pengaturan secure
transaction, public ke infrastructure registration authority, electronic
payment, certification authority masih belum dilaksanakan.
Namun, perhatian pada perlindungan hak kekayaan
intelektual semakin tinggi dan upaya untuk memantapkan regulasi semakin
mendapat perhatian dari berbagai pihak. Di lapangan dapat dicatat perkembangan
yang menggembirakan dengan semakin meluasnya homepage, berkembangnya aplikasi
seperti E-commerce, E-Banking, E-Brokerage, dan lain-lai.
Sektor pemerintah nampaknya berkembang lamban karena
kendala keuangan dan sumber daya manusia. Beberapa kelompok usaha seperti PT.
Telkom, Indosat, Lippo e nett, nampaknya semakin giat untuk mengejar ketertinggalan
masyarakat kita di bidang aplikasi. Aplikasi seperti E-government,
tele-education, telemedicine masih dalam taraf mula yang perlu di dorong
berbagai pihak.
3. Sumber Daya Telematika
Dalam bidang sumber daya , diarahkan pada pengembangan SDM,
industri dalam negeri, hukum dan perdagangan, serta kultur informasi. Secara
umum dirasakan bahwa SDM di dalam negeri belum memenuhi harapan untuk berperan
dalam pengembangan teknologi yang berubah begitu cepat.
Namun demikian, cukup banyak pula SDM Indonesia di bidang
telematika yang bekerja di luar negeri termasuk di sentra-sentra keunggulan.
Usaha berbagai pihak khusunya sector swasta, nampaknya cukup menggembirakan
antara lain dikembangkannya cyber campus seperti ITB, UPH, dan lain-lain. Yang
sangat memprihatinkan adalah pengembangan industri dalam negeri.
Walaupun berbagi konsep telah cukup lama di bicarakan
seperti Hightech Park di Bandung, Serpong dan lain-lain sampai saat ini belum
mencapai kemajuan berarti. Oleh karena itu perlu dikembangkan kebijaksanaan
nasional untuk mendorong berkembangnya industri dalam negeri di bidang
telematika antara lain sistem insentif.
Dalam mempromosikan visi N21, inisiasi perlu datang dari
pemerintah. Namun secara bertahap dan interaktif, visi ini perlu mengakomodasi
kebutuhan yang khas dari berbagai kelompok masyarakat maupun departemen. Untuk
itu keterlibatan berbagai kelompokmasyarakat dalam merumuskan dan mewujudkan
program-program telematika perlu ditumbuhkembangkan secara berangsur-angsur.
Hal ini pada gilirannya akan membatasi peranan pemerintah,
khususnya dalam hal pengadaan dan pengelolaan kandungan informasi. Control
informasi dari pemerintah justru dipandang sebagai faktor penghambat bagi upaya
penyejahteraan masyarakat melalui jejaring telekomunikasi.
D. Peran Telematika
Berdasarkan perkembangan telematika tersebut diatas,
telematika di Indonesia memiliki tiga peran pokok, antara lain :
1. Mengoptimalkan proses pembangunan. Telematika
memberikan dukungan terhadap manajemen dan pelayanan kepada masyarakat berupa
sarana telekomunikasi yang memuahkan masyarakat saling berinteraksi tanpa
terhalang jarak. Dengan telematika, proses komunikasi menjadi mudah sehingga
mudah pula untuk menyebarkan informasi dari satu daerah ke daerah lain.
2. Meningkatkan Pendapatan. Produk dan jasa teknologi
telematika merupakan komoditas yang memberikan peningkatan pendapatan bagi
perseorangan, dunia usaha bahkan negara dalam bentuk devisa hasil ekspor jasa
dan produk industri telematika.
3. Pemersatu bangsa. Teknologi telematika mampu menyatukan
bangsa melalui pengembangan sistem informasi yang menghubungkan semua institusi
dan area dengan cepat tanpa terhalang jarak daerah masing-masing.
E. Pemanfaatan Telematika di Bidang Pendidikan
Menurut Miarso (2004) terdapat sejumlah pilihan alternatif
pemanfaatan di bidang pendidikan, yaitu :
1. Perpustakaan Elektronik
Perpustakaan yang biasanya arsip-arsip buku dengan di
Bantu dengan teknologi informasi dan internet dapat dengan mudah mengubah
konsep perpustakaan yang pasif menjadi agresif dalam berinteraksi dengan
penggunanya. Homepage dari The Library of Congress merupakan salah satu
perpustakaan yang terbesar di dunia. Saat ini sebagian informasi yang ada di
perpustakaan itu dapat di akses melalui internet.
2. Surat Elektronik (email)
Dengan aplikasi sederhana seperti email maka seorang
dosen, pengelola, orang tua dan mahasiswa dapat dengan mudah berhubungan. Dalam
kegiatan di luar kampus mahasiswa yang menghadapi kesulitan dapat bertanya
lewat email.
3. Ensiklopedia
Sebagian perusahan yang menjajakan ensiklopedia saat ini
telah mulai bereksperimen menggunakan CD ROM untuk menampung ensiklopedia
sehingga diharapkan ensiklopedia di masa mendatang tidak hanya berisi tulisan
dan gambar saja, tapi juga video, audio, tulisan dan gambar, dan bahkan
gerakan. Dan data informasi yang terkandung dalam ensklopedia juga telah mulai
tersedia di internet. Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka data dan
informasi yang terkandung dalam ensiklopedi elektronik dapat diperbaharui.
4. Sistem Distribusi Bahan Secara Elektronis ( digital )
Dengan adanya sistem ini maka keterlambatan serta
kekurangan bahan belajar bagi warga belajar yang tinggal di daerah terpencil
dapat teratasi. Bagi para guru SD yang mengikuti penyetaraan D2, sarana untuk
mengakses program ini tdk menjadi masalah karena mereka dapat menggunakan
fasilitas yang dimiliki kantor pos yang menyediakan jasa internet.
5. Tele-edukasi dan Latihan Jarak Jauh dalam Cyber System
Pendidikan dan pelatihan jarak jauh diperlukan untuk
memudahkan akses serta pertukaran data, pengalaman dan sumber daya dalam rangka
peningkatan mutu dan keterampilan professional dari SDM di Indonesia. Pada
gilirannya jaringan ini diharapkan dapat menjangkau serta dapat memobilisasikan
potensi masyarakat yang lain, termasuk dalam usaha, dalam rangka pembangunan
serta kelangsungan kehidupan ekonomi di Indonesia, baik yang bersifat
pendidikan formal maupun nonformal dalam suatu “cyber system”.
6. Pengelolaan Sistem Informasi
Ilmu pengetahuan tersimpan dalam berbagai bentuk dokumen
yang sebagian besar tercetak dalam bentuk buku, makalah atau laporan informasi
semacam ini kecuali sukar untuk diakses, juga memerlukan tempat penyimpanan
yang luas. Beberapa informasi telah disimpan dalam bentuk disket atau CD ROM,
namun perlu dikembangkan lebih lanjut sistem agar informasi itu mudah
dikomunikasikan. Mirip halnya dengan perpustakaan elektronik, informasi ini
sifatnya lebih dinamik (karena memuat hal-hal yang mutakhir) dapat dikelola
dalam suatu sistem.
7. Video Teleconference
Keberadaan teknologi ini memungkinkan siswa atau mahasiswa
dari seluruh dunia untuk dapat berkenalan, saling mengenal bangsa di dunia.
Teknologi ini dapat digunakan sebagai sarana diskusi, simulasi dan dapat
digunakan untuk bermain peran pada kegiatan pembelajaran yang berfungsi
menumbuhkan kepercayaan diri dan kerjasama yang bersifat sosial.
Banyak faktor yang mempengaruhi dilaksanakan atau tidaknya
potensi teknologi telematika. Faktor utama, menurut Miarso (2004) adalah adanya
komitmen politik dari para pengambil kebijakan dan ketersediaan para tenaga
terampil.
F. Dampak Penggunaan Telematika
Berbagai macam bentuk yang menjadi dampak penggunaan
telematika merebak luas pada masyarakat. Dampak ini akan memunculkan dan
merubah pola kehidupan, bekerja, berusaha bahkan merubah falsafah pada
bidang-bidang tertentu. Dampak yang pasti adalah akan terjadinya perubahan
minat bekerja yang lebih efisien dalam arti benefit to cost ratio, efektif
dalam arti kualitas produk, jasa, dan pemerataan distribusi produk jasa kepada
masyarakat. Dampak yang akan muncul penggunaan telematika baik secara langsung
maupun tidak langsung, yaitu :
1. Penghematan transportasi dan bahan bakar.
2. Menghindarkan jam-jam yang tidak produktif menjadi
lebih produktif.
3. Mengembangkan konsep kegiatan tersebar secara merata ke
seluruh daerah.
4. Menyuguhkan banyak pilihan sarana telekomunikasi.
G. Posisi Indonesia Dalam Bidang Telematika
Sejak AS, sebagai negara yang paling awal mempunyai
inisiatif dalam pembangunan superhighways informasi, meluncurkan The National
Infrastructure Information-nya pada tahun 1991, banyak negara industri lainnya
mengikutinya. Bulan Februari 1996 Inggris dan Jerman memperkenalkan
kebijakan-kebijakan superhighways informasi mereka, yaitu The Information
Society Initiative di Inggris dan program The Info 2000 di Jerman.
Tak lama kemudian di tahun 1996, negara di Asia Tengah
mengikutinya, seperti Filipina dengan Tiger, Malaysia dengan Multimedia Super
Corridor (MSC) dan Singapura dengan Singapore-ONE. Dan di tahun 1997 Indonesia
meluncurkan kebijakan superhighways informasi dengan nama Nusantara 21.
Beda antara Nusantara 21 dengan kebijakan superhighways
informasi negara lain dapat dijelaskan oleh 4 hal yaitu :
a. Evolusi Teknologi
Teknologi terus berubah. Prakiraan perkembangan teknologi
di masa mendatang sangat beragam. Di antara banyak negara tidak ada persetujuan
mengenai kebutuhan untuk menghubungkan dengan kabel tempat-tempat paling jauh.
Beberapa pakar berfikir bahwa teknologi wireless yang didukung oleh satelit
dengan orbit rendah mungkin dapat mewujudkan komunikasi broadband dengan baik.
Di Indonesia tampaknya terjadi evolusi teknologi yang unik. Mengingat
masyarakat Indonesia sebagian besar tinggal di pedesaan dan banyak yang buta
huruf, sehingga tampaknya teknologi visual dan pembicaraan (speech) akan lebih
mendapat tempat di masyarakat daripada teknologi informasi dengan tulisan
(text).
b. Struktur pasar dan strategi industri
Para aktor strategi industri yang terlibat dalam pembuatan
superhighways informasi tidak tergantung pada negara dimana mereka tinggal.
Strategi-strategi dari para aktor utama dalam industri content juga
menggambarkan ketidakpastian mengenai masa depan peralatan layanan informasi
yang akan digunakan.
Karena tergantung struktur pasar, bisa jadi di masa depan
strategi yang tepet berada dalam pilihan alternatif antara lain multimedia (
seperti CD-ROM, perangkat lunak PC dan piringan video digital) atau kabel
(seperti TV kabel, telekomunikasi kabel dengan serat optic) atau jejaring
telekomunikasi dari berbagai jenis teknologi telekomunikasi.
Di Indonesia struktur pasarnya cukup beragam, ada wilayah
urban, suburbia, dan rural. Untuk urban semua alternatif seperti multimedia,
kabel, jejaring, telekomunikasi dapat dipertimbangkan. Tetapi untuk daerah
suburbia dan rural, tampaknya yang paling tepat adalah jejaring telekomunikasi
dari berbagai teknologi yang sebelumnya telah ada dan tinggal mengalami
beberapa penyempurnaan, oleh karena itu Nusantara 21 dipersiapkan mengadopsi
jejaring telekomunikasi dari berbagai jenis teknologi telekomunikasi.
c. Penyusunan Institusional
Kebijakan – kebijakan superhighways informasi melibatkan
berbagai badan atau agen pemerintah yang berkoordinasi secara fungsional,
sektoral ataupun territorial. Dalam fungsinya, di AS atau Inggris, pemerintah
tidak mengontrol seluruh proses kebijakan karena telah ada agen-agen regulasi
independent. Secara sektoral, konflik dan persaingan institusional dapat
terjadi di antara departemen pemerintah.
Di Indonesia yang berperan dalam N21 merupakan tim yaitu
Tim Koordinasi Telematika Indonesia (TKTI) yang melibatkan banyak menteri
sesuai keppres 30 tahun 1997. Hal ini menunjukkan peran pemerintah Indonesia
masih sangat besar dibandingkan peran swasta, masyarakat dan lain-lain. Adapula
institusi yang lemah posisinya daripada TKTI, yaitu Kelompok Kerja Penyusunan
Konsep Buku Nusantara 21 yang terdiri dari 14 kelompok yang terdiri dari wakil
Telkom, Indosat, dan Universitas.
d. Akomodasi terhadap nilai – nilai nasional
Walaupun label “masyarakat informasi” yang sama digunakan
di berbagai negara, visi sosial yang dikandungnya memiliki content local yang
unik, yang berpijak pada nilai-nilai sosial dasar masing-masing masyarakat
setiap negara. Di Indonesia, konsep superhighways informasi N21 tidak terlepas
dari aspek Wawasan Nusantara yang heterogen dan Ketahanan Nasional, baik dari
segi ekonomi, sosial, politik, serta pertahanan keamanan, yang telah muncul
sejak adanya konsep satelit.
Bahkan N21 sesungguhnya merupakan pemutakhiran dari
Palapa, dengan tetap menggunakan pendekatan pada nilai-nilai yang mempersatukan
nusantara. Selain itu, N21 tercakup juga dalam program Multimedia Asia (M2A),
program yang bertujuan mempersatukan wlayah Asia melalui telematika.
e. Interaksi dengan kebijakan-kebijakan publik lainnya
Melalui tiga analisis yang umumnya dilakukan di semua
negara (daya saing ekonomi, perbaikan kondisi sosial, liberalisasi
telekomunikasi), juga analisis spesifik untuk masing- masing negara, kebijakan
superhighways juga dihubungkan kepada kebijakan-kebijakan publik lainnya.
Di Indonesia, Nusantara 21 berkaitan dengan kebijakan –
kebijakan mengenai daya saing ekonomi masyarakat Indonesia menghadapi pasar
global, kebijakan pengurangan kesenjangan antara lapisan sosial ekonomi,
kebijakan pertumbuhan industri nasional khususnya industri teknologi
telekomunikasi, kebijakan perbaikan kondisi sosial masyarakat, kebijakan
peningkatan pendidikan dan pengajaran serta kebijakan melestarikan kebudayaan nasional.
Sedangkan mengenai kebijakan liberalisasi telekomunikasi
tampaknya tidak terlalu mendapat dukungan. Swasta dilibatkan tetapi masih
terbatas. Tetapi yang tampaknya terpenting dan khas dari N21 adalah
interaksinya dengan kebijakan persatuan dan kesatuan Indonesia dan pertahanan
keamanan yang sangat kiat tidak lepas dari nilai-nilai Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional (Yuliar,2001).
Sumber : www.Google.com